Penahanan merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi manusia yang paling serius dalam sistem peradilan pidana. Di Indonesia, aturan mengenai penahanan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya mulai Pasal 20 hingga Pasal 31. Meskipun penahanan dianggap sebagai tindakan hukum yang sah, namun harus dilihat sebagai jalan terakhir (ultimum remedium) yang hanya dilakukan apabila syarat-syarat objektif dan subjektif telah terpenuhi.
Pasal 21 KUHAP menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan apabila seseorang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, atau tindak pidana tertentu yang disebutkan secara limitatif, dan disertai kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
Namun, dalam praktiknya, penahanan sering kali dilakukan secara otomatis, seolah-olah menjadi keharusan, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan secara matang proporsionalitas dan urgensinya. Padahal, setiap pembatasan hak asasi, termasuk hak atas kebebasan, harus dilakukan secara proporsional, akuntabel, dan dapat diuji di hadapan hukum.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya, seperti Putusan No. 21/PUU-XII/2014, telah menegaskan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka, termasuk hak untuk tidak ditahan apabila masih terdapat alternatif lain seperti penangguhan atau pengalihan jenis penahanan (rumah atau kota).
Maka dari itu, penahanan seharusnya tidak menjadi bentuk “hukuman dini” sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum, dituntut untuk bertindak adil, profesional, dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Jika Anda ingin versi opini ini ditambahkan kutipan yurisprudensi atau contoh kasus aktual, saya bisa bantu juga. Apakah Anda ingin dilengkapi dengan itu?
Oleh Penulis: Herwandy Baharuddin, S.H., M.H., CPLC., CPCLE., CPI., CPLA.