OPINI

Cabut lalu Kembalikan lagi ID Card, Mengancam Kebebasan Pers ke Depan ?

34
×

Cabut lalu Kembalikan lagi ID Card, Mengancam Kebebasan Pers ke Depan ?

Sebarkan artikel ini

Bagaimana kejadian ini berkaitan dengan kebebasan pers — termasuk potensi ancaman ke depan, konteks hukum, dampak nyata, serta rekomendasi agar insiden serupa tidak mengulang.

Kronologi Singkat

Berdasarkan laporan media:
Seorang jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, dilaporkan memiliki kartu pers Istana (ID Card liputan Istana) yang dicabut oleh Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.

Pencabutan ini diduga karena jurnalis tersebut mengajukan pertanyaan yang dianggap “di luar konteks” saat Presiden Prabowo Subianto tiba dari lawatan luar negeri, yaitu pertanyaan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Setelah muncul protes dari organisasi Pers seperti Dewan Pers, AJI Jakarta, PWI, LBH Pers, dan IJTI, Istana menyatakan akan mencari “jalan keluar terbaik” dan kemudian ID Pers dikembalikan.

Dasar Hukum dan Prinsip Kebebasan Pers

Untuk menilai seberapa serius tindakan tersebut sebagai ancaman, perlu merujuk beberapa ketentuan hukum dan prinsip yang relevan di Indonesia:

  1. UUD 1945

Pasal 28F menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Prinsip demokrasi dan keterbukaan adalah bagian integral dari konstitusi.

  1. Undang‑Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 4 ayat (2): Pers tidak boleh dikenai penyensoran atau pelarangan.

Pasal 4 ayat (3): pers dan wartawan memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarkan gagasan dan informasi.

Pasal 18 ayat (1): pihak yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat pelaksanaan kebebasan pers dapat diancam pidana hingga dua tahun atau denda Rp500 juta.

  1. Peran Pengawasan

Dewan Pers sebagai lembaga independen yang menjaga kode etik jurnalistik dan hak pers.

Organisasi pers lainnya seperti PWI, AJI, LBH Pers juga memainkan peran pengawas dan advokasi.

Analisis: Apakah Ini Ancaman Serius terhadap Kebebasan Pers ?

Pencabutan ID Card tersebut memang dapat dilihat sebagai sinyal bahaya terhadap kebebasan Pers, dan ada beberapa aspek yang menguatkan bahwa ini bukan hanya insiden kecil. Berikut analisisnya:

Aspek Positif

Reaksi cepat dari masyarakat pers dan publik
Organisasi‑pers, media, dan masyarakat segera angkat bicara, menolak tindakan tersebut, meminta penjelasan, dan meminta pemulihan akses. Ini menunjukkan bahwa masyarakat dan institusi pers masih cukup kuat untuk mengawasi penyalahgunaan kekuasaan.

Pemulihan akses

Meski ID Card dicabut, kemudian dikembalikan. Ini penting karena menunjukkan bahwa ada tanggapan terhadap kritik dan potensi backlash politik jika tidak ditanggapi.

Aspek yang Menjadi Ancaman

Namun, ada beberapa poin yang membuat tindakan ini menjadi indikasi ancaman yang serius bila tidak ditangani dengan baik:

  1. Preseden Pengendalian Akses Media
    Mencabut akses liputan sebagai respons terhadap pertanyaan kritis membuka jalan bagi kontrol kekuasaan terhadap media. Jika pejabat kenapa‑kenapa merasa “terganggu” oleh pertanyaan kritis, mereka bisa menggunakan mekanisme administratif untuk membungkam wartawan.
  2. Kebebasan Pers vs. Kepentingan Pemerintah
    Tindakan semacam ini bisa menciptakan “efek chilling” — wartawan atau media menjadi ragu untuk mengajukan pertanyaan kritis atau menggali informasi yang potensial sensitif, takut dihukum administratif (dicabut akses, disensor, dihalangi). Ini merusak fungsi kontrol sosial media.
  3. Ketidakjelasan Prosedur
    Dari laporan, belum ada klarifikasi resmi atau prosedur yang transparan tentang kapan dan atas dasar apa ID Pers bisa dicabut. Ambigu dalam prosedur bisa disalahgunakan.
  4. Konflik Kepentingan dan Pengaruh Politik
    Pencabutan sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang “di luar agenda” menunjukkan bahwa pihak Istana mungkin menganggap media sebagai pihak yang “harus dikontrol” agar sesuai dengan narasi pemerintah. Bila demikian, ini bisa jadi langkah menuju pembatasan kebebasan pers yang lebih sistemik.
  5. Keterkaitan dengan Penurunan Peringkat Kebebasan Pers Internasional
    Dalam laporan internasional, pembatasan‑pembatasan serupa biasa dianggap sebagai indikator melemahnya kebebasan pers. Peristiwa ini akan turut diperhitungkan oleh organisasi Pers internasional, juga LSM internasional seperti Reporters Without Borders.

Dampak yang Sudah Terjadi

Kerugian bagi jurnalis yang ID‑nya dicabut
Tidak bisa menjalankan tugas peliputan Istana, kehilangan akses ke sumber langsung presiden atau pejabat tinggi yang bisa memberikan informasi penting.

Kerugian bagi publik

Publik kehilangan haknya untuk memperoleh informasi langsung dari pihak paling tinggi; dalam kasus ini, pertanyaan kritis terkait MBG dan keracunan yang terjadi. Informasi penting dan dampak publik bisa jadi terhambat.

Dampak reputasi pemerintah
Protes dari Pers dan publik bisa merusak citra pemerintah sebagai lembaga yang terbuka dan demokratis. Ada kritik bahwa tindakan tersebut “merusak citra Presiden” jika dicitrakan mengekang kritik.

Apakah Penyerahan Kembali ID Card Menghapus Ancaman?

Penyerahan kembali ID Card tentu penting dan positif. Tetapi:

Tidak menghapus fakta bahwa tindakan awal itu terjadi — momentum, efek psikologis, dan presedennya sudah ada.

Belum ada jaminan tidak akan terulang jika prosedur tidak diperjelas atau mekanisme pertanggungjawaban tidak ada. Banyak pihak sudah menyuarakan bahwa “kasus serupa jangan sampai ada lagi.”

Pemulihan itu bisa dianggap sebagai respon terhadap tekanan publik, bukan perubahan sistemik. Jika hanya pulih setelah protes, maka kontrol publik dan media lah yang menjadi penyeimbang, bukan mekanisme internal pemerintahan yang kuat.

Potensi Bahaya ke Depan jika tidak Ditindaklanjuti

Beberapa risiko jika pemerintah atau Istana tidak menangani masalah ini secara serius:

  1. Normalisasi Pengendalian Media
    Jika tindakan pencabutan akses liputan dijadikan alat rutin untuk “mengendalikan” media yang dianggap menyimpang dari agenda resmi, ini bisa menjadi bagian dari budaya penghalangan Pers/pembungkaman jurnalis.
  2. Self‑censorship Journalist
    Wartawan bisa mulai menghindari pertanyaan kritis atau topik sensitif agar tidak menghadapi konsekuensi serupa. Akibatnya, kualitas dan kuantitas informasi kritis menurun.
  3. Pengikisan Kepercayaan Publik
    Bila media dianggap “bermain aman,” publik mungkin kehilangan kepercayaan terhadap media sebagai pengawas kekuasaan. Sementara pemerintah yang mengekang bisa kehilangan legitimasi.
  4. Dampak terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan
    Pengawasan media adalah salah satu fondasi demokrasi. Tanpa pengawasan, korupsi, maladministrasi, pelanggaran HAM, dan kasus‑penyimpangan lain bisa sulit terekspos.
  5. Isu Internasional
    Indonesia bisa kehilangan reputasi sebagai negara demokratis, yang bisa berdampak terhadap investasi, kerja sama internasional, serta penilaian hak asasi manusia dari organisasi luar.

Rekomendasi

Agar insiden seperti ini tidak menjadi preseden negatif, berikut beberapa saran:

  1. Penyusunan Prosedur yang Transparan
    Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden (BPMI Setpres) perlu memiliki regulasi internal yang jelas tentang mekanisme ID Pers: kapan bisa dicabut, siapa wewenangnya, syaratnya, proses banding atau klarifikasinya.
  2. Penegakan Prinsip Hukum dan Undang‑Undang Pers
    Menghindari interpretasi sewenang‑wenang terkait “agenda acara” atau “pertanyaan di luar konteks” sebagai pembenaran penghapusan akses tersebut.
  3. Dialog Terbuka dengan Media dan Organisasi Pers
    Untuk mendengarkan kekhawatiran wartawan, media, dan lembaga Pers tentang hambatan yang mereka alami. Kolaborasi agar standar peliputan di Istana dipahami semua pihak.
  4. Pertanggungjawaban Pejabat yang Melakukan Tindakan Sepihak

Bila terbukti pencabutan dilakukan tanpa dasar yang jelas, pejabat di Biro Pers perlu dievaluasi atau diberikan sanksi agar menjadi pelajaran.

  1. Penguatan Peran Dewan Pers dan Lembaga Pengawasan

Memastikan lembaga‑lembaga ini memiliki akses, kapasitas, dan independensi untuk mengevaluasi kasus‑kasus seperti ini dan memberi rekomendasi atau penegasan hukum.

  1. Pendidikan dan Kesadaran tentang Kebebasan Pers

Baik di kalangan pejabat pemerintah maupun masyarakat luas, bahwa pers bukan musuh, melainkan mitra publik dalam penyampaian kebenaran dan pengawasan kekuasaan.

Kesimpulan

Pencabutan ID Card Pers oleh Istana Negara—meskipun kemudian dikembalikan—merupakan tindakan yang berpotensi besar sebagai ancaman terhadap kebebasan Pers, terutama apabila tindakan serupa di masa depan dilakukan tanpa kontrol yang jelas. Ini bukan sekadar masalah administratif; ini berkaitan langsung dengan prinsip demokrasi, hak publik atas informasi, dan kemampuan media untuk menjalankan fungsi kontrol sosial.

Insiden ini harus dilihat sebagai alarm: bahwa masih ada kerentanan di Indonesia terhadap tindakan yang dapat melemahkan kebebasan Pers. Namun, respons cepat oleh publik dan pemulihan akses menunjukkan bahwa sistem demokrasi dan lembaga‑pengawas masih berfungsi setidaknya sebagian.

Agar kebebasan pers tidak semakin tergerus, sangat penting bahwa kebijakan, norma, dan budaya pemerintahan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap pers sebagai bagian vital dari demokrasi.
(Syahrir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *