Oleh: Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. (Praktisi Hukum)
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah salah satu pilar penting dalam sistem peradilan di Indonesia yang berfungsi sebagai pengawas terhadap tindakan atau keputusan pejabat administrasi pemerintahan. Keberadaan PTUN sejatinya adalah wujud dari prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang menjamin bahwa setiap tindakan pemerintah harus dapat diuji dan tidak boleh sewenang-wenang.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa PTUN hanya ada di kota-kota besar atau ibu kota provinsi tertentu. Hal ini menimbulkan persoalan akses keadilan, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah kabupaten/kota yang jauh dari pusat PTUN. Tidak sedikit masyarakat yang harus menempuh ratusan kilometer hanya untuk mendaftarkan gugatan atau mengikuti persidangan. Biaya transportasi, waktu, serta energi yang terkuras sering kali menjadi penghalang masyarakat untuk mencari keadilan.
Sebagai praktisi hukum, saya menilai bahwa sudah saatnya pemerintah dan Mahkamah Agung mempertimbangkan hadirnya PTUN di setiap kabupaten/kota. Ada beberapa alasan mendasar:
- Akses Keadilan yang Lebih Merata
Masyarakat berhak mendapatkan keadilan tanpa dibatasi oleh jarak dan biaya. Dengan adanya PTUN di setiap kabupaten/kota, prinsip equality before the law dapat diwujudkan lebih nyata. - Efisiensi dan Percepatan Penanganan Perkara
Beban perkara di PTUN tingkat provinsi saat ini cukup menumpuk. Jika PTUN diperluas ke kabupaten/kota, distribusi perkara akan lebih seimbang, sehingga penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efektif. - Pengawasan Administrasi Pemerintah yang Lebih Ketat
Pejabat daerah akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara jika mekanisme pengawasan yudisial berada lebih dekat. Hal ini akan meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan daerah. - Pendidikan Hukum bagi Masyarakat
Kehadiran PTUN di daerah juga menjadi sarana edukasi hukum bagi masyarakat agar lebih memahami hak-haknya, terutama dalam menghadapi keputusan administratif yang dianggap merugikan.
Tentu, perlu diakui bahwa ada tantangan dalam realisasi gagasan ini, antara lain keterbatasan anggaran negara, ketersediaan hakim PTUN, serta pembangunan infrastruktur peradilan. Namun, langkah strategis bisa dimulai dengan membuka cabang pengadilan PTUN di kabupaten/kota tertentu sebagai percontohan, sebelum akhirnya diperluas secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa kehadiran PTUN di setiap kabupaten/kota bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak untuk mewujudkan akses keadilan yang lebih dekat, murah, dan cepat bagi masyarakat. Negara hukum hanya dapat tegak jika setiap warga, tanpa terkecuali, benar-benar memiliki kesempatan yang sama untuk mencari keadilan.