Oleh: Herwandy Baharuddin, S.H., M.H.
Dalam praktik hukum, sering muncul perdebatan mengenai kedudukan antara putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Secara hierarki, keduanya berada pada tingkat yang berbeda secara fundamental.
Putusan MK merupakan produk lembaga konstitusional yang dibentuk berdasarkan Pasal 24C UUD 1945. Kewenangan MK antara lain menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dan hasil keputusannya bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, semua lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung, wajib tunduk dan melaksanakan putusan tersebut.
Sementara itu, SEMA hanyalah instrumen administratif internal Mahkamah Agung yang berfungsi memberikan pedoman teknis bagi peradilan di bawahnya. SEMA tidak dapat mengubah norma undang-undang, apalagi menyimpangi putusan MK. Secara hukum, SEMA tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Oleh karena itu, jika terdapat pertentangan antara putusan MK dan SEMA, maka putusan MK harus diutamakan dan dilaksanakan. Mengabaikan putusan MK berarti melanggar prinsip supremasi konstitusi dan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Dalam konteks ini, hakim maupun aparat penegak hukum harus menjadikan Putusan MK sebagai rujukan utama, bukan SEMA. Sebab, hukum yang adil harus berpijak pada konstitusi, bukan sekadar petunjuk administratif.























